Total Tayangan Halaman

Senin, 17 Januari 2011

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

Budaya dalam bahasa Inggris “culture”, dalam bahasa Latin “colere’, juga diistilahkan dengan peradaban atau budi yang dalam bahasa Arab “akhlaq”.
Di Indonesia, kebudayaan secara etimologi berasal dari kata Sansekerta yaitu “buddhayah” bentuk jamak dari kata buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi-daya, yaitu akal budi seseorang ataupun kelompok manusia.
Beberapa pakar memberikan definisi tentang kebudayaan ini, yaitu antara lain:
• Menurut Kontjaraningrat:
”Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar”.
• Menurut Mohammad Hatta:
”Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa”.
• Menurut Zoetmulder:
”Kebudayaan adalah perkembangan terpimpin oleh manusia budayawan dari kemungkinan-kemungkinan dan tenaga-tenaga alam terutama alam manusia, sehingga ia merupakan satu kesatuan harmonis.
Kebudayaan dekat kaitannya dengan ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, dan psikologi, terutama karena membicarakan tentang fenomena masyarakat, tetapi dalam membicarakan tentang politik secara luas, kebudayaan merupakan faktor yang sangat penting karena mengkaji berbagai pola perilaku seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban.
Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, tentu sulit sekali, tapi inilah sebenarnya merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang diwarisi nilai-nilai luhur nenek moyang. Untuk itu perlu dikaji sub-sub kultur yang terdapat di tanah air ini. Budaya kedaerahan yang mempengaruhi masing-masing suku dalam khazanah budaya Indonesia yang kaya ini dapat yang lalu sebagai ”Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Mangrwa”.

Budaya kedaerahan yang bersifat kawula gusti maupun yang bersifat partisipan, pada satu sisi masih akan ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab di bidang politik, yang disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh, penjajahan, nepotisme, primodialisme dan feodalisme. Namun bukan berarti kita berniat menggugurkan ciri asli kedaerahan. Pelestariannya tetap dijaga namun diseimbangkan dengan semangat nasionalisme, sebagaimana keseimbangan Sila Ketiga dan Keempat Pancasila itu sendiri.
Banyak ahli mendefinisikan pengertian budaya politik. Roy Macridis, mendefinisikan kebudayaan politik adalah sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Menurut Samuel Beer, komponen-komponen kebudayaan adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap emosi tentang bagaimana pemerintah seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Sedangkan menurut Finer, kebudayaan politik suatu bangsa terutama nampaknya terpusat terhadap legitimasi peraturan-peraturan dan lembaga politik serta prosedur. Kemudian Dennis Kavanagh, kebudayaan politik adalah sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung. Adapun obyek-obyek politik mencakup bagian dari sistem politik, seperti badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, dan kelompok-kelompok organisasi, pandangan-pandangan individual sendiri sebagai pelaku-pelaku politik dan pandangannya terhadap warga masyarakat lain. Robert Dahl, mendefinisikan kebudayaan politik adalah satu faktor yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik.
Menurut Pye, indikator-indikator kebudayaan politik suatu bangsa mencakup faktor-faktor seperti wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan dan cara standar untuk penilaian aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi politik.
Definisi budaya politik yang lain diberikan Almond dan Verba, Menurut keduanya budaya politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluasi.
Pendapat lain lagi dikemukan oleh Rusadi Kantaprawira, Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan, karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang (Kantaprawira, 1999:26).
Jadi kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai satu subkultur, kebudayaan politik dipengaruhi oleh budaya secara umum.
Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik.

1. Budaya Politik Jawa
Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji etika Jawa, yang terkenal tabah tapi ulet. Mereka memang sudah sejak dulu terpatri dalam kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup. Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut ”nrimo” (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam meniadakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah ”ojo dumeh” (jangan mentang-mentang).
Bila menghormati orang yang dituakan, lalu mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan membenamkan dalam-dalam apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut ”mikul dhuwur mendem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam).
Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah ”mangan ora mangan pokok-e kumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul). Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walau pun kemudian memerlukan waktu, mereka beristilah ”alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan asal tercapai).
Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan bertindak, walaupun terhadap bawahan sekalipun, mereka-mereka memberi istilah ”ngono yo ngono”. Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama walau pun terhadap pihak yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah ”ngluruk tanpa bolo,digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake).
Dalam poltik orang jawa relatif lebih merendah dibanding suku-suku lain di Indonesia, yang terwujud dari bagaimana cara mereka memasang keris. Bila orang Bugis-Makasar, Minangkabau, Banarmasin dan Aceh masing-masing menyelipkan badik, keris, mandau dan rencong mereka pada dada dan perut (di depan), maka orang jawa menyimpan kerisnya di punggung (di belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang menilai kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang jawa lebih senang berkelahi dari belakang dari pada berhadap-hadapan.

2. Budaya Politik Minangkabau
Budaya politik partisipan sebenarnya dapat dikaji dari Ranah Minangkabau, mengapa orang Padang terkenal ulet lidah dan tidak mau mengalah karena di dalam berpetatah-petitih, mereka sudah sejak dulu mempunyai pandangan tentang filsafat hidup, termasuk dalam hal perpolitikan.
Dalam mepertahankan gengsi, kewajiban dan persamaan derajat, mereka mengatakan ”tagak samo tinggi, duduak samo randah” (berdiri/tegak sama tinggi, duduk sama rendah). Begitu pula dalam mengelola kehidupan mereka berpedoman: ”nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di nan manang, nak cadiak sungguah baguru, nak kayo kuek mancari” (agar menjadi orang yang mulia berlakulah yang baik, ingin maju teladanilah orang yang telah berhasil, ingin pintar belajar sungguh-sungguh, ingin kaya harus kuat ulet berusaha).
Untuk pemanfaatan tenaga kerja, mereka mengatakan bahwa, ”nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan binguuang disuruah-suruah, nan kuek pambao beban, nan cadiak lawan berunding” (yang buta menghembus lesung, yang tuli pelepas bedil/menembak, yang lumpuh penunggu rumah, yang mengganggur untuk dsuruh-suruh, yang kuat pembawa beban/barang, yang pintar untuk lawan berunding). Hal ini sejalan dengan peredaman emosi antusiasme. Bagi penyesuaian diri mereka berpedoman pada ”bakato di bawah-bawah, mandi di ilia-ilia” (berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir), sehingga tepat dengan usaha mempertahankan prinsip, yaitu ”baa di urang baitu pulo di awak, talanjuak luruih kalingking bakaik” (bagaimana halnya pada orang begitu pula pada kita, telunjuk lurus kelingking berkait).
Penggambaran posisi pemimpin pemerintahan diibaratkan pohon beringin, yaitu ”daunnyo tampek balindung, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, ureknya tampek baselo” (daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila). Namun demikian tetap diperlukan instropeksi diri sebagai berikut: ”kok kayo urang indak ka maminta, kok cadiak urang indak kabatanyo, kok kuek urang indak maminta, kok cadiak urang indak ka baparang” (jika kaya orang tidak meminta, jika pintar/cerdik rang tidak akan bertanya, jika kuat orang tidak akan berlindung, jika berani orang tidak akan berkelahi/berperang.
Dalam hubungan dan komunikasi politik mereka berpedoman ”duduak surang basampik-sampik, dudasamo balapang-lapang” (duduk sendiri bersempit-bersempit, duduk bersama berlapang-lapang). Itulah sebabnya setelah kekalahan dalam peristiwa PRRI orang awak ini sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

3. Budaya Politik Sunda
Dalam kisah leluhur Sunda beredar cerita Dayang Sumbi yang identik dengan kisah Odhipus Complex di Yunani Kuno. Bedanya di Sunda lebih ditekankan pada kecantikan sang ibu yang senantiasa terawat tubuhnya. Sampai saat ini kebiasaan memakan daun-daunan segar masih kental di Jawa Barat yang disengaja atau pun tidak berdampak positif untuk perawatan kulit. Namun demikian data lain memperlihatkan bahwa kawin cerai, membuang anak, serta perebutan harta warisan paling tinggi ditemukan di daerah ini.
Istilah-istilah dalam perkawinan seperti ”nyalindung ka gelung” (berlindung kepada istri) atau pun ”manggih kaya” (numpang kaya) dijadikan sindiran untuk memperlihatkan bahwa unsur materialistis menjadi rujukan utama. Itulah sebabnya perkawinan muda usia masih sering ditemui. Karena rawannya usia tersebut dalam mengenal arti kehidupan perkawinan, maka perceraian merupakan akses yang tidak dapat dihindari.
Dibeberapa daerah penulis menemukan seorang kepala desa memiliki istri sampai enam belas orang. Keinginan seorang ibu untuk merelakan anak gadisnya dipersunting menjadi istri muda kesekian, adalah karena motivasi harta serta keterlindungan materi.
Solihin GP., mantan Gubernur Jawa Barat, sempat melontarkan dalam salah satu pertemuan, bahwa masyarakat Sunda itu cengeng sifatnya.
Sementara itu Rusadi Kantaprawira dalam wawancaranya dengan televisi, mengkhawatirkan terabsorpsinya budaya Sunda oleh budaya lain. Menurut penulis, budaya Sunda cukup berpengaruh, bahkan islam yang dianut oleh mayoritas penduduk sunda, cenderung terpengaruh oleh budaya Sunda, ketimbang sebaliknya.
Dalam penyelenggaraan politik pemerintahan, baik ditingkat pemerintahan daerah maupun pemerintahan kecamatan sampai ke desa-desa, terjadi hubungan akrab antara birokrat setempat dengan rakyatnya, bahkan tidak jarang dalam pesta-pesta masyarakat menyuguhkan tarian jaipong dari para ronggeng dan pesinden kepada para aparat pemerintah.
Kalau di Irian Jaya tariannya mengandalkan hentakan kaki sesuai degup jantung masyarakat tradisional, maka sudah bukan rahasia umum lagi, tarian jaipong mengekspos liuk pinggang, goyang pinggul dan buah dada. Bahkan persenan diselipkan lewat kutang (beha) atau bibi sehingga berkonotsi godaan seks.
Karena pengkultus-individuan masyarakat Sunda terhadap pemerintah inilah di tanah Parahyangan jarang terjadi kritik pada pemerintah termasuk dari dewan perwakilan rakyatnya, dengan begitu pemerintah termasuk dari dewan perwakilan rakyatnya, dengan begitu pemerintah melenggung dengan mulus ke puncak korupsi mereka dan rakyat merestuinya dalam keadaan setengah hati.

4. Budaya Politik Bugis-Makassar
Sebenarnya antara suku Bugis dan suku Makasar terdapat perbedaan, namun kesamaannya lebih besar daripada perbedaannya sehingga dalam tulisan ini penulis golongan dalam satu kategori. Sebagai pelaut, suku Bugis dan Makasar ini cukup bertebal muka dalam pergaulan namun andai kata lebih sensitif akan berakibat lebih fatal. Hal ini karena mereka memiliki budaya siri sebagai penebusan rasa ketersinggungan, bila harga harkat keberadaan dirinya terinjak. Misalnya dalam menjaga anak perawan maka.
Siri dapat berakibat hilangnya nyawa orang lain, untuk itu tidak diperlukan pandai bersilat karena tantangannya adalah duel dalam sarung dengan badik terhunus. Jadi keahlian silat tetap riskan bagi pelakunya. Di bidang politik, maka suku Bugis-Makasar ini tepat mengisi posisi legislatif karena kemampuan dan keberaniannya dalam berbantahan. Tetapi bila masyarakat Bugis Makassar merantau meninggalkan negerinya, keakraban bagi mereka yang berada di rantau orang lalu muncul rasa kekeluargaan yang mendalam, dan mereka memang memiliki rasa segan terhadap yang dituakan, resikonya sulit mengusut korupsi di kalangan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan.

5. Budaya Politik Manado
Masyarakat Kawanua cenderung terkenal paling moderat di banding dengan suku-suku lain di Indonesia. Hal inilah yang membuat orang-orang Manado lebih demokratis ketimbang suku-suku lain. Kawanua berarti kekerabatan, konco masyarakat paguyuban Manado sendiri. Di daerah ini eksistensinya kaum wanita sudah sejak dulu dihormati; karena haknya, kaum wanita dipandang terbuka, bahkan sedikit genit bagi sementara masyarakat Indonesia lainnya.
Namun dampak positifnya setiap persahabatan yang dilakukan dengan orang-orang Manado jarang dipecundangi karena tidak pernah di daerah ini ada istilah menohok kawan seiring. Hampir mirip dengan masyarakat Bali yang memiliki organisasi Subak, maka di Manado kegotongroyongan dikenal dengan istilah Mapalus.
Kasih sesama manusia dan kekerabatan yang diuraikan diatas, banyak berperangkat dari ajaran kristiani yang menyebarkan kasih kepada semua pihak. Di samping itu dalam meningkatkan sumber daya manusia, yang dalam istilah Manado, Samuel Ratulangie memberi sebutan ”si tou timou tumo tou”, bermaksud untuk hidup dan kehidupan ini pada dasarnya adalah untuk menghidupkan manusia itu sendiri; jadi inilah dasar hak asasi manusia yang perlu dicontoh sisi positifnya.
Legenda kuno Manado mencatat bahwa daerah ini pernah dipimpin dan dikuasai oleh mayoritas kaum wanita; hal inilah yang membuat kaum wanita di daerah ini cenderung cekatan dalam persaingan hidup dan kehidupan. Dalam etika politik tidak ini dengan frontal, tetapi harus mengkaitkannya dengan keberadaan kasih itu sendiri, karena mereka juga mempunyai suatu harga diri, bahkan cenderung berestetika secara melankolis dalam menghadapi berbagai gejala dan peristiwa politik.

6. Budaya Politik Aceh
Orang Aceh lebih suka dikatakan sebagai penjahat ketimbang dinilai telah meninggalkan agama Islam.
Berkenaan dengan hasrat hati masyarakat Aceh dalam menantang perjuangan dengan gigih mereka bersendi pada istilah ”de teorun dari rumoh neugisa ngon darah” (maksudnya: kalau turun dari rumah jangan harapkan pulang nama, tetapi harus tetap pulang darah). Hal ini dekat dengan ayat Al Quran yang mengatakan ”Faa-izza azamta fa tawaqal allallah” (artinya, apabila engkau telah membulatkan tekad maka serahkanlah kepada Allah SWT.
Sejarah memang telah membuktikan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. Kaum kolonialisme begitu sukar menembus daerah ini kecuali mengelabui para syuhada Serambi Makkah ini. Namun demikian, sebagai ekses dari keuletan masyarakat daerah ini, mereka lalu tampak eksistensialis ketimbang fatalisme; jihad diperlukan lebih mutlak ketimbang sufisme, bahkan tariannya saja alat genderang hampir tidak diperlukan karena cukup memukul dada. Di kampung-kampung tidak ditemui rumah ibadah agama lain selain masjid, tetapi untuk memusnahkan ladang ganja pemerintah harus campur tangan. Untuk itu dalam penyelenggaraan politik diperlukan pendekatan religi. Namun sayang rasa kecewa Aceh sudah bertimbun sehingga mereka tidak lagi berharap untuk menerima Undang-undang Nangroe Aceh Darussalam.

7. Budaya Politik Papua
Hubungan (komunitas) di daratan Irian Jaya (Papua) sangat sulit karena beratnya medan yang akan dilalui. Karena itu dalam perkembangan budaya kedaerahan sangat memiliki perbedaan satu sama lain. Dampak positifnya, bila orang Irian dalam hormat menghormati. Dampak mempertahankan wibawa dan kharismanya masing-masing, bahkan cenderung kurang berkenan membuka aib.
Pada kesempatan lain yang umum terjadi, bila seorang perjaka sudah meminang seorang wanita pujaan hatinya, dan ditolak oleh calon mertua (biasanya dikenal dengan istilah bapa mantu) maka akan berekses kawin lari, karena gengsinya menanggung celaan penolakan tersebut. Karena itu pula, calon penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, para aparat pemerintah, tidak dapat mengobral janji-janji muluk yang sulit untuk dipenuhi.

8. Budaya Politik Batak
Orang batak terkenal dengan eksistensialis dalam menantang hidup dan kehidupan ini, sehingga dikalangan anak-anak muda dikenal istilah Batak Tembak Langsung (BTL). Maksudnya, seorang yang tinggal dipedalaman Sumatera Utara, tidak perlu harus lewat Medan untuk menuju Jakarta ataupun luar negeri sekalipun. Dalam mengemukakan orang batak cenderung spontan tanpa tedeng aling-aling, sehingga demokrasi dalam pembangunan politik akan berkembang pesat apabila mengikuti tradisi putra Batak, terutama dalaam penyelenggaraan politik di Indonesia tercinta ini. Istilah paling lazim disampaikan dalam pembicaraan sehari-hari adalah ”ise nan mangator nagaraon”. Sedangkan terhadap pihak yang dianggap sudah akrab mereka menyebut ”halak kita” sebagai persaudaraan, di samping ”lai’.
Kalau tidak akrab sekali mereka, sulit untuk menembus adat Batak ini karena antar mereka terjadi kawin-kawin yang mengentalkan kekerabatan. Ada 4 adat pengikat dalam peminangan perkawinan yaitu upa suhu, upo jalobara, upa tulang, dan upa pariban. Apabila tidak terpenuhi mengkibatkan ”sirang ala sinamot”.

9. Budaya Politik Bali
Unsur kehidupan masyarakat dan kebudayaan di Bali, berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur yang berasal dari budaya agama Hindu Jawa, terutama berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan Singosari dan Majapahit. Hal ini tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh pedanda, nama-nama yang menunjukkan kasta, upacara pembakaran mayat, berbagai tari dan arsitektur bermotif Hindu. Ini berpengaruh pula dalam kehidupan politik.
Namun kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi tradisi modern, sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh banyaknya wisatawan asing dan domestik yang masuk ke Bali. Sehingga pendidikan dan budaya serta pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak membawa perubahan, terutama dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang gotong royong, baik sebagai nilai budaya mau pun dalam sistem perilaku. Gotong royong telah menjadi landasan dari berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali, sehingga tampak sangat menggerakkan kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat Bali.
Bentuk gotong tersebut diberbagai istilah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh yaitu:
1. Ngoupin (gotong royong antar-individu atau keluarga).
2. Ngedeng (gotong royong antar-perkumpulan).
3. Ngayah (gotong royong untuk keperluan agama).
Itulah sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk memisahkan diri dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, rasa kegotongroyongan mereka terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati kesempatan untuk hal tersebut memungkinkan melihat potensi parawisata yang mereka miliki. Bayangkan betapa banyak para turis dari manca negara yang mengatakan bahwa ”see Bali before yur die” artinya bila meninggal orang perlu mendambakan syurga maka sebelum mati orang perlu mendambakan Bali.
Sayang kekerabatan kasta yang sebenarnya adalah untuk menentukan tingkat pemahaman seseorang umat Hindu terhadap agamanya disalahartikan, seseorang dari kasta Brahmana bila melahirkan anak seorang yang berbakat dagang seharusnya tidak perlu diberi kasta Brahmana tetapi adalah kasta Weisya, bukan ikut seperti ayahandanya yang memiliki perbedaan pengalaman makan asam garam keduniawian ini, dengan begitu tingkat Moksah seseorang terasa jauh bedanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar