Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Januari 2011

UU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang)

BAB I

A. Pendahuluan
Undang-undang ini telah lama dinanti oleh publik, mengingat kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Bahkan, Indonesia sempat dimasukkan dalam daftar Negara yang mengabaikan penanganan perdagangan manusia oleh panel pemerintah Amerika. Oleh karena itu diperlukan payung hokum yang memberikan perlindungan terhadap korban dari tindak pidana tersebut. Dalam undang-undang ini diatur juga secara komprehensif mengenai pencegahan, pemberantasan sampai penanganan tindak pidana perdagangan orang. Selain itu penetapan undang-undang ini juga merupakan wujud komitmen bangsa Indonesia melaksanakan protocol PBB tahun 2000, yang biasa dikenal sebagai protocol polermo untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang karena sifat tindak pidananya yang transnasional, terorganisasi, dan tidak terorganisasi.
Di era reformasi ini masalah hak asasi manusia merupakan elemen penting yang harus diperhatikan manusia harus terbebas dari perbudakan atau penghambatan dalam KUHP pasal 324-337 bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambatan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun. Kendati demikian ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk kembali melakukan perbudakan dan penhambatan itu ke dalam bentuk yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking). Mereka memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi. Praktek perdagangan orang beroperasi secara tertutup dan terorganisasi sehingga membentuk sebuah sindikat yang tidak tersentuh oleh hokum. Sindikat ini terus berkembang sehingga menembus lintas batas Negara. Mereka dengan sangat halus menjerat mangsanya terutama perempuan dan anak-anak menjadi korban perdagangan orang yang dieksploitasi dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri , seperti dengan jeratan hutang, kesulitan ekonomi yang melilit dan kemiskinan.
Pada perkembangannya, praktik tindak pidana perdagangan orang di Indonesia melangkah ke kondisi yang sangat mencemaskan. Maka wajar saja indonesia sempat dimasukkan di daftar Negara yang mengabaikan penenganan perdagangan manusia oleh panel pemerintah amerika serikat. Namun pada tahun 2005 indonesia dikeluarkan di daftar itu karena Indonesia dianggap sudah memperbaiki penanganan perdagangan orang.

BAB II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang diberbagai Negara, termasuk Indonesia dan Negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian indonesiasebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan , pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana , atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau oaring yang menjadi tanggungjawabnya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.
Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hokum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.
Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik teorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak perdagangan orang bahkanmelibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara Negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifiasikan tindak tersebut sebagai kejahatan pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan undang-undang perlindungan anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan oaring yang tegas secara hokum. Di samping itu, pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hokum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.
Undang-undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakkan hokum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan social, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh Negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan social akibat tindak pidana perdagangan orang.
Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensip dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah Negara melainkan juga anatarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerjasama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan undang-undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan protol PBB tahun 2000 tentang mencegah, memberantas dan menghukum tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak (protocol Palermo) yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia.

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di Negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).


Pasal 8
(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 13
(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 14
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 15
(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 18
Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.


TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 19
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 20
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 21
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).



Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 23
Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:
a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 24
Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 25
Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 26
Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.



Pasal 27
Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.


BAB III
KOMENTAR

Beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib memang telah banyak melakukan tindakan hokum kepada para trafficker dan memproses mereka secara hokum serta mengajukannya kepengadilan . namun pihak kepolisian, kejaksaan, pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan orang mengeluhkan adanya kendala di bidang perundang-undangan yang menyebabkan hokum yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi mereka.
Memang ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang . namun demikian, KUHP itu memiliki kelemahan, diantara KUHP yang secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Sementara terhadap korban orang dewasa seperti tenaga kerja Indonesia, tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh KUHP.
Kelemahan lainnya lagi dari KUHP ini adalah, hanya membatasi ruang lingkup pada ekploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi illegal anak dan bayi.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan KUHP ini adalah , tentang batas usia di bawah umur tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia di bawah umur ataupun usia dewasa. Sementara itu, UU perlindungan anak juga tidak cukup kuat untuk melindungi anak sebagai korban perdagangan orang.






BAB IV
Kesimpulan

Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Undang-undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakkan hokum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan social, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh Negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan social akibat tindak pidana perdagangan orang.


Daftar Pustaka

Bastoni, Agus. 2007. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: Sinar
Grafika.
Icjr.or.id/wp-content/upload/2009.
id.wikisource.org/wiki/rancangan_Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana.
www.pk-sejahtera.org/v2/index.php.

1 komentar:

  1. Banyak terjadi trafiking di di indonesia,terutama ke timur tengah dgn modus pengiriman tkw, begitu mudahhnya mrk lolos dr petugas bea cukai/bandara

    BalasHapus